20+ Pengertian Multikulturalisme Menurut Para Ahli (Lengkap: Internasional & Indonesia)

Multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang mengakui dan merayakan keberagaman budaya dalam suatu masyarakat. Ini bukan sekadar pengakuan pasif, melainkan sebuah ideologi aktif untuk mengelola perbedaan dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Artikel ini akan menjadi panduan terlengkap bagi Anda, merangkum puluhan pandangan pengertian multikulturalisme menurut para ahli dari seluruh dunia, sangat cocok untuk dijadikan referensi akademis yang kredibel untuk tugas, makalah, atau memperkaya wawasan pribadi.

Ilustrasi konsep multikulturalisme dengan ragam budaya dari seluruh dunia yang bersatu secara harmonis.

Tabel Ringkasan: Pengertian Multikulturalisme Menurut Para Ahli

Untuk memudahkan Anda, berikut adalah rangkuman inti pandangan dari beberapa ahli kunci yang akan kita bahas secara mendalam di bawah ini. Bagian ini sangat ideal untuk mendapatkan gambaran cepat.

No. Nama Ahli Inti Pandangan / Kata Kunci Utama
1. J.S. Furnivall Masyarakat majemuk (plural society); hidup berdampingan tapi tidak menyatu.
2. Bhikhu Parekh Dialog antarbudaya; tiga asumsi sentral; lima jenis multikulturalisme.
3. Horace Kallen Pluralisme budaya (cultural pluralism); analogi salad bowl (mangkuk salad).
4. Clifford Geertz Ikatan primordial; kesadaran akan "yang-diri" yang bersumber dari etnis, ras, agama.
5. Will Kymlicka Hak kelompok minoritas; kewarganegaraan multikultural (multicultural citizenship).
6. Lawrence Blum Penghargaan dan pengakuan terhadap budaya lain; anti-rasisme.
7. Marion Iris Young Politik perbedaan (politics of difference); keadilan bagi kelompok tertindas.
8. H.A.R. Tilaar Pendidikan multikultural; fokus pada kesetaraan dan anti-diskriminasi.
9. Parsudi Suparlan Ideologi untuk mengakui dan mengagungkan perbedaan derajat secara setara.
10. Azyumardi Azra Kekuatan fondasi bangsa; mozaik budaya yang memperkaya kehidupan bangsa.

Pengertian Multikulturalisme Menurut Para Ahli Internasional

Gagasan multikulturalisme modern banyak lahir dari pemikir-pemikir Barat yang merespons dinamika keberagaman di negara mereka. Berikut adalah definisi multikulturalisme dari beberapa tokoh paling berpengaruh.

1. J.S. Furnivall

Meskipun tidak secara langsung menggunakan istilah "multikulturalisme", J.S. Furnivall adalah peletak dasar konsep masyarakat majemuk (plural society). Menurutnya, masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak terintegrasi atau menyatu dalam satu unit politik.

Furnivall melihat bahwa interaksi dalam masyarakat seperti ini sering kali hanya terjadi di ranah ekonomi, seperti di pasar. Setiap kelompok memiliki agamanya, budayanya, bahasanya, dan bahkan pemikirannya sendiri. Konsep ini menjadi penting karena menyoroti tantangan utama dalam masyarakat multikultural: bagaimana menciptakan persatuan tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing kelompok.

2. Bhikhu Parekh

Bhikhu Parekh, dalam bukunya yang monumental Rethinking Multiculturalism, memberikan salah satu analisis paling komprehensif. Baginya, multikulturalisme bukan sekadar fakta adanya keragaman, tetapi sebuah perspektif normatif tentang bagaimana seharusnya kita merespons keragaman tersebut. Ia menekankan pentingnya dialog antarbudaya sebagai cara untuk memahami nilai-nilai yang berbeda dan mencapai pemahaman bersama.

Parekh juga mengidentifikasi lima model atau jenis multikulturalisme yang akan kita bahas lebih lanjut nanti. Inti dari pandangannya adalah bahwa tidak ada satu budaya pun yang sempurna atau superior; setiap budaya memiliki keterbatasan dan dapat diperkaya melalui interaksi dengan budaya lain.

3. Clifford Geertz

Antropolog ternama, Clifford Geertz, menyumbangkan pemikiran penting melalui konsep ikatan primordial. Menurut Geertz, ikatan ini merujuk pada sentimen yang berasal dari hal-hal yang "diberikan" (givens) dalam kehidupan sosial, seperti hubungan kekerabatan, kesamaan suku, bahasa, daerah asal, dan agama.

Dalam konteks multikulturalisme, pandangan Geertz mengingatkan kita bahwa identitas kelompok sering kali sangat kuat dan mengakar. Ikatan primordial ini bisa menjadi sumber solidaritas, namun juga bisa menjadi pemicu konflik jika tidak dikelola dengan baik dalam sebuah negara yang beragam. Memahami kekuatan ikatan ini adalah kunci untuk merancang kebijakan multikultural yang efektif.

4. Horace Kallen

Horace Kallen adalah filsuf Amerika yang sering dianggap sebagai salah satu pencetus awal gagasan multikulturalisme modern. Ia menentang keras ideologi melting pot (tungku peleburan), di mana semua imigran diharapkan melebur dan meninggalkan budaya aslinya untuk menjadi "orang Amerika".

Sebagai gantinya, Kallen mengusulkan konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan analogi yang sangat terkenal: salad bowl (mangkuk salad) atau orkestra simfoni. Dalam sebuah mangkuk salad, setiap bahan (sayuran, tomat, selada) tetap mempertahankan rasa dan bentuk aslinya, namun bersama-sama menciptakan hidangan yang lezat dan harmonis. Ini adalah metafora untuk masyarakat di mana setiap kelompok etnis dan budaya dapat mempertahankan identitas uniknya sambil berkontribusi pada keutuhan bangsa.

5. Lawrence Blum

Lawrence Blum mendefinisikan multikulturalisme sebagai pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia menekankan tiga nilai penting dalam multikulturalisme:

  1. Menegaskan identitas budaya sendiri.
  2. Menghormati dan ingin memahami latar belakang budaya orang lain.
  3. Menilai dan merasa ingin tahu tentang kebudayaan-kebudayaan lain.

Bagi Blum, multikulturalisme secara inheren bersifat anti-rasisme dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil di mana setiap budaya diakui dan dihargai.

6. Will Kymlicka

Will Kymlicka adalah seorang filsuf politik yang terkenal dengan teorinya tentang kewarganegaraan multikultural (multicultural citizenship). Ia berpendapat bahwa keadilan sosial tidak cukup hanya dengan memberikan hak-hak individu yang sama kepada semua orang. Kelompok minoritas (baik imigran maupun masyarakat adat) sering kali membutuhkan hak-hak khusus yang berbasis kelompok untuk melindungi budaya mereka dari tekanan mayoritas.

Menurut Kymlicka, hak-hak ini bisa berupa hak pemerintahan sendiri (untuk masyarakat adat), hak poli-etnis (dukungan finansial untuk asosiasi budaya), atau hak perwakilan khusus dalam politik. Tujuannya adalah memastikan bahwa kelompok minoritas dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat tanpa harus melepaskan identitas budayanya.

7. Marion Iris Young

Serupa dengan Kymlicka, Marion Iris Young adalah seorang pemikir feminis dan politik yang mengadvokasi politik perbedaan (politics of difference). Ia mengkritik cita-cita asimilasi yang mengabaikan identitas kelompok. Menurut Young, tuntutan untuk "buta warna" atau "buta perbedaan" justru sering kali melanggengkan penindasan karena mengabaikan pengalaman unik kelompok-kelompok yang terpinggirkan (seperti perempuan, kelompok rasial, atau penyandang disabilitas).

Bagi Young, keadilan sejati menuntut pengakuan eksplisit terhadap perbedaan kelompok dan memberikan ruang bagi mereka untuk menyuarakan perspektif mereka dan berpartisipasi dalam politik sebagai anggota kelompok tersebut.

Pengertian Multikulturalisme Menurut Para Ahli Indonesia

Konteks Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika melahirkan pemikiran multikulturalisme yang khas. Berikut adalah pandangan dari beberapa cendekiawan terkemuka di Indonesia.

1. H.A.R. Tilaar

Prof. Dr. H.A.R. Tilaar adalah salah satu tokoh utama dalam diskursus multikulturalisme di Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan. Menurut Tilaar (2004), multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang berupaya memberikan pengakuan dan penghargaan setara terhadap berbagai kebudayaan dan kelompok etnis yang berbeda dalam suatu masyarakat.

Fokus utama Tilaar adalah pada pendidikan multikultural. Baginya, pendidikan harus menjadi wahana untuk menanamkan pemahaman, toleransi, dan sikap anti-diskriminasi sejak dini. Pendidikan multikultural bukan sekadar pelajaran tambahan, melainkan sebuah pendekatan yang harus meresap ke dalam seluruh kurikulum dan budaya sekolah untuk mempersiapkan generasi muda hidup dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

2. Parsudi Suparlan

Menurut sosiolog Parsudi Suparlan, multikulturalisme adalah sebuah "ideologi" yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kelompok. Ia menekankan bahwa multikulturalisme bukanlah sekadar fakta adanya banyak budaya (pluralitas), melainkan sebuah gagasan normatif yang harus diperjuangkan.

Suparlan melihat multikulturalisme sebagai konsep yang dapat menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis dan adil. Konsep ini menentang segala bentuk dominasi dan diskriminasi, serta mendorong adanya pengakuan yang setara terhadap semua unsur budaya yang membentuk bangsa.

3. Azyumardi Azra

Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra melihat multikulturalisme sebagai "kekuatan" dan fondasi bagi Indonesia. Baginya, definisi multikulturalisme adalah kesadaran bahwa keragaman budaya, etnis, dan agama yang ada di Indonesia adalah sebuah mozaik yang memperkaya kehidupan bangsa, bukan ancaman.

Azra sering menekankan bahwa Islam di Indonesia secara historis telah menunjukkan karakter yang akomodatif terhadap budaya lokal, yang menjadi bukti bahwa kesadaran multikultural telah lama ada. Ia mendorong agar kesadaran ini terus dipupuk untuk melawan paham-paham radikal dan eksklusif yang dapat merusak persatuan bangsa.

4. Choirul Mahfud

Dalam bukunya Pendidikan Multikultural, Choirul Mahfud menjelaskan bahwa multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang dapat diimplementasikan dalam kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan kebhinekaan dalam kehidupan masyarakat.

Ia menegaskan bahwa multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, dan tindakan oleh masyarakat suatu negara mengenai keragaman etnis, budaya, dan agama. Tujuannya adalah untuk mempromosikan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.

5. A. Rifai Harahap

A. Rifai Harahap mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah gerakan yang menuntut pengakuan (recognition) terhadap pluralitas budaya. Gerakan ini bertujuan untuk menentang semua bentuk diskriminasi, marginalisasi, dan penindasan yang sering kali dialami oleh kelompok-kelompok minoritas. Baginya, inti dari multikulturalisme adalah perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan sosial bagi semua kelompok budaya.

Sejarah Singkat dan Perkembangan Konsep Multikulturalisme

Infografis perbandingan konsep melting pot di mana budaya melebur menjadi satu, dengan konsep salad bowl di mana identitas budaya tetap terjaga.
Gagasan multikulturalisme tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir sebagai kritik dan evolusi dari konsep sebelumnya.

Sejarah modernnya sering dilacak kembali ke negara-negara imigran seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Awalnya, ideologi yang dominan adalah asimilasi atau yang populer disebut melting pot (tungku peleburan). Konsep ini beranggapan bahwa semua pendatang harus meninggalkan budaya asli mereka dan melebur menjadi satu budaya dominan yang baru.

Namun, pada pertengahan abad ke-20, konsep ini mendapat kritik keras. Banyak kelompok merasa identitas mereka terancam hilang dan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan budaya Anglo-Saxon. Sebagai respons, muncullah gagasan pluralisme budaya yang dipelopori oleh Horace Kallen dengan metafora salad bowl. Ide ini menyatakan bahwa keragaman justru merupakan kekuatan. Setiap kelompok budaya dapat mempertahankan keunikannya, namun tetap menjadi bagian integral dari bangsa yang lebih besar. Gagasan inilah yang menjadi cikal bakal konsep masyarakat multikultural modern.

Apa Saja Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural?

Menurut para sosiolog, sebuah masyarakat dapat diidentifikasi sebagai masyarakat multikultural jika memiliki ciri-ciri berikut:

  1. Terjadi Segmentasi Sosial: Masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau subkultur yang berbeda (misalnya berdasarkan suku, agama, atau ras), di mana setiap anggota lebih banyak berinteraksi dengan anggota kelompoknya sendiri.
  2. Memiliki Struktur yang Terbagi: Struktur sosialnya terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, artinya setiap kelompok memiliki lembaga sosialnya sendiri (misal: sekolah, tempat ibadah, organisasi) yang berjalan paralel.
  3. Kurangnya Konsensus: Sering kali memiliki tingkat konsensus yang rendah mengenai nilai-nilai dasar dan norma-norma sosial. Apa yang dianggap benar oleh satu kelompok, belum tentu dianggap benar oleh kelompok lain.
  4. Potensi Konflik yang Tinggi: Perbedaan nilai, norma, dan kepentingan antar kelompok membuat masyarakat multikultural rentan terhadap konflik sosial.
  5. Integrasi Bersifat Paksaan (Coercion): Integrasi sosial sering kali tumbuh bukan karena kesadaran alami, melainkan karena adanya "paksaan" dari kekuatan luar, seperti dominasi politik oleh satu kelompok atau ketergantungan ekonomi di antara kelompok.
  6. Adanya Dominasi Politik: Sering kali terdapat satu kelompok mayoritas atau yang lebih kuat secara politik yang mendominasi kelompok-kelompok lainnya.

Jenis-Jenis Multikulturalisme

Seperti yang telah disinggung dalam pandangan Bhikhu Parekh, multikulturalisme memiliki beberapa varian. Memahami jenis-jenis ini membantu kita melihat bagaimana ideologi ini diterapkan di berbagai negara:

  1. Multikulturalisme Isolasionis: Merujuk pada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural hidup secara otonom dan terpisah satu sama lain. Interaksi antar kelompok sangat minim, seperti masyarakat dalam sistem "apartheid".
  2. Multikulturalisme Akomodatif: Masyarakat yang memiliki kultur dominan, namun memberikan beberapa penyesuaian dan akomodasi bagi kelompok minoritas. Hak-hak minoritas diakui, tetapi mereka tetap diharapkan menyesuaikan diri dengan budaya utama.
  3. Multikulturalisme Otonomis: Kelompok-kelompok kultural utama berusaha mencapai kesetaraan dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang kolektif. Tujuannya adalah menjaga cara hidup masing-masing kelompok.
  4. Multikulturalisme Kritikal/Interaktif: Kelompok-kelompok budaya tidak terlalu peduli dengan kehidupan otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif mereka. Mereka aktif menantang budaya dominan dan memperjuangkan kesetaraan.
  5. Multikulturalisme Kosmopolitan: Berusaha menghapuskan batas-batas budaya sepenuhnya untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu dan bebas terlibat dalam eksperimen antarbudaya.

Contoh Konkret Multikulturalisme di Indonesia

Contoh multikulturalisme di Indonesia yang menunjukkan akulturasi budaya dalam sebuah festival dengan arsitektur masjid dan pura di latar belakang
Indonesia adalah laboratorium multikulturalisme yang sangat kaya. Berikut adalah beberapa contoh nyata yang lebih dari sekadar slogan toleransi:
  • Semboyan Bhinneka Tunggal Ika: Ini bukan hanya slogan, tetapi ideologi negara yang secara formal mengakui bahwa persatuan Indonesia dibangun di atas keragaman.
  • Penetapan Hari Libur Nasional: Pengakuan hari raya keagamaan besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) sebagai hari libur nasional adalah bentuk kebijakan multikultural yang nyata.
  • Akulturasi Budaya:
    • Kuliner: Lumpia Semarang (perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa).
    • Arsitektur: Masjid Cheng Ho di Surabaya dan Palembang yang memadukan arsitektur Tiongkok, Arab, dan lokal.
    • Musik: Musik Keroncong yang memiliki pengaruh kuat dari musik Portugis.
  • Sistem Hukum: Adanya pengakuan terhadap sistem hukum adat di berbagai daerah yang berjalan berdampingan dengan hukum nasional menunjukkan adanya akomodasi negara terhadap keragaman sistem nilai.

Kesimpulan

Memahami pengertian multikulturalisme menurut para ahli membuka wawasan kita bahwa konsep ini jauh lebih dalam dari sekadar pengakuan akan adanya perbedaan. Ini adalah sebuah ideologi, sebuah proyek politik, dan sebuah pandangan dunia yang menuntut adanya kesetaraan, keadilan, dan dialog antarbudaya. Dari Furnivall yang menggambarkan tantangannya hingga Tilaar yang memperjuangkannya melalui pendidikan, setiap ahli memberikan perspektif berharga. Bagi Indonesia, memahami dan mempraktikkan multikulturalisme secara kritis adalah kunci untuk merawat persatuan dan membangun masa depan yang inklusif bagi semua warganya.

Daftar Pustaka

  • Azra, Azyumardi. (2007). Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia.
  • Kymlicka, Will. (1995). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford University Press.
  • Mahfud, Choirul. (2011). Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar.
  • Parekh, Bhikhu. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Harvard University Press.
  • Suparlan, Parsudi. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Jurnal Antropologi Indonesia.
  • Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Grasindo.

Posting Komentar untuk "20+ Pengertian Multikulturalisme Menurut Para Ahli (Lengkap: Internasional & Indonesia)"